Bayan Mufti Luthfi Al Banjari V
” ada seseorang dalam jemaah, agak sedikit marah pada saya (mubayyin). Tetapi saya Ikhlas saja dimarahin, karena saya suka marah juga sama orang. Tetapi marahnya ini galak bukan emosi, tetapi galak saja. Jadi setelah ditafakkud kesiapan dia untuk berangkat, ternyata kita sudah mengkaji biayanya tidak cukup. Lantas dia marah dan berkata, “Ustadz buat apa sih targhib-targhib orang masalah Yakin, ternyata masih menanyakan kepada kami masalah duit cukup atau tidak. Jangan bicara-bicara Yakin kalau masih nanya-nanya lagi masalah duit cukup atau tidak.” Mendengar ini saya sebagai ustadz yang suka mentarghib masalah Yakin ini terpukul juga mendengar jawaban dia. Kita ini harus sabar dalam dakwah ini, tidak boleh emosi dan gunakan nafsu saja, apalagi ketika menemukan keadaan yang seperti ini. Lalu saya katakan kepadanya, “Kami juga pernah bertanya mengenai perkara yang demikian, bukan saya yang bertanya, tetapi Mufti Zainal Abidin bercerita.”
Ceritanya apa :
Jadi ketika Mufti ini memberikan bayan tentang Iman dan Yakin ini sudah seperti keyakinannya sampai kelangit. Lalu ada orang bertanya kepada Mufti Zainal Abidin di airport, “Mufti kenapa sih bayannya kuat sekali mengenai perkara Yakin ini, tetapi ketika keluar orang ditanya lagi masalah kesiapan duitnya, ditafakkud lagi dan lagi kayak gak ada keyakinan aja ?” Inikan seakan-akan bertentangan antara yang Mufti bayankan dengan prakteknya. Apalagi katanya ketika tim taskil berkata, “Jangan lihat kantong, jangan lihat kantong, lihat saja kekuasaan Allah yang tanpa batas.” Tetapi setelah ditafakkud, ditanya juga berapa yang ada di kantong. Maka Mufti Zainal Abidin berfikir sejenak, lalu pandangannya tertuju pada landasan airport yang ada pesawatnya. Dia lihat disana ada pesawat yang besar seperti Boeing 747 itu terbangnya harus hebat, cepat, mantap, dan stabil. Namun sebelum terbang, pesawat ini ada di parkirannya. Pesawat ini ditarik dengan mobil, dibimbing, diposisikan dulu biar pas letakknya. Ditarik mundur dulu dari parkirannya, dibelokkan, baru ditarik maju menuju runaway, tempat lepas landas. Melihat hal ini, Mufti Zainal Abidin katakan, “Coba lihat itu pesawat, dia bisa terbang kelangit, tetapi sebelum terbang, pesawat ini ditafakkud dulu kesiapannya sebelum pesawat ini diletakkan di runaway itu untuk lepas landas. Apa yang ditaffakkud dari : mesinnya, pilotnya, alat-alatnyta, mobil tariknya, dan lain-lain. Sampai pada mobil yang membimbing pesawat ini dipersiapkan hingga ada pada posisi yang di inginkan untuk siap terbang.” Lalu Mufti katakan, “Kamu itu mau seperti itu, di targhib siap terbang, tetapi terbangnya ngaco, malah membahayakan orang lain, ibarat pesawat tidak ikut tafakkud tahu-tahu meleset, mesin rusak atau posisi terbang salah sehingga malah tabrakan. Ini karena tidak ditafakkud dulu sebelum terbang. Jadi untuk mempersiapkan pesawat agar bisa terbang ini, perlu di tafakkud dulu hingga sampai pada kesiapan yang cukup layak untuk terbang. Baru nanti terbangnya mantap, stabil, tidak membahayakan, cepat, dan lancar.” Begitu pula kita, sebelum kita berangkat untuk mendapatkan keyakinan yang sempurna ini, ditafakkud dulu, duitnya berapa, biar tidak ngaco nanti terbangnya. Ini bukannya bertentangan dengan keyakinan, tetapi untuk meletakkan diri kamu di runaway tadi seperti pesawat. Jadi tafakkud ini untuk mempersiapkan keyakinan kita agar diletakkan dengan benar pada tempatnya, seperti membenarkan letakknya pesawat ini di runaway agar siap terbang. Nanti kalau Iman ini sudah sampai di runaway, sudah sampai pada level layak untuk terbang, gak perlu lagi di taffakkud. Masyeikh ini setiap 2 tahun pergi haji, mana ada orang yang datang kepada Syeikh Abdul Wahab, berapa tafakkudnya ? apa kesiapannya ? berapa uang dibawa untuk pergi haji ? cukup atau tidak ? tidak ada ceritanya syekh Abdul Wahab di taffakkud seperti itu. Ini karena para Masyeikh sudah meletakkan diri mereka pada jalan yang sudah tinggal siap terbang saja. Keyakinan mereka sudah sampai kalau terbang ini tidak akan menyusahkan orang lagi, seperti terbangnya pesawat yang tinggal lepas landas dari runaway tadi, tidak akan nabrak-nabrak.”
Ada kisah tentang Nabi Isa AS ketemu Iblis LA, cerita ini agar kita ini tidak meniru iblis tadi. Bahaya kalau kita ikuti jejak Iblis, masuk neraka nanti akhirnya. Dakwahnya Iblis ini kuat, sebagaimana Dakwahnya Nabi. Kehebatan Iblis ini adalah Keikhlasannya. Jadi Nabi Ikhlas dan Iblispun juga Ikhlas, sama-sama Ikhlas.
Cuman yang satu mengajak ke Surga, dan yang satu mengajak ke Neraka. Iblis gak pernak mengajak orang supaya dia, iblis ini, menjadi gubernur atau bupati, ketua partai, atau presiden, tidak ada. Tetapi murni mengajak orang agar masuk kedalam neraka bersama dia, itu saja, tanpa ada embel-embel lain. Dia, Iblis ini, tidak mau apa-apa dari dunia ini selain orang ikut sama dia ke neraka saja, sudah cukup itu saja bagi dia. Inilah dakwahnya Iblis, ikhlas tidak minta apa-apa, hanya ingin manusia masuk neraka saja.
Jadi kalau Da’i ini masih mengharapkan sesuatu dalam dakwah berarti lebih goblok dari iblis. Kalah oleh Iblis dalam hal keikhlasan, bagaimana akan bisa menang. Iblis berkata kepada Nabi Isa AS, “Wahai Isa tahukah kamu bahwa yang menghidupkan dan yang mematikan itu adalah Allah”, Isa bilang, “Ya tahu saya itu, dan yakin sekali.” Lalu Iblis berkata kepada Isa AS, “Sekarang kamu naik ke gunung, nanti kalau engkau sudah sampai dipuncaknya sana, kau lompat. Untuk membuktikan keyakinan kamu, bahwa yang menghidupkan dan yang mematikan adalah Allah.” Sekarang coba posisikan diri kita seperti Nabi Isa AS.
Seandainya ada karkun 4 bulan IPB, baru pulang lagi Jos, di tempatkan dalam keadaan seperti Nabi Isa tadi bagaimana ? kita di targhib Iblis masalah keyakinan seperti Nabi Isa, apa yang akan kita lakukan ? Kita diminta Iblis untuk naik ke atas gedung lalu kita disuruh lompat, iblis nantang, kan kita sudah yakin katanya bahwa yang menghidupkan dan yang mematikan adalah Allah. Bagaimana ? berani atau tidak kita menjawab tantangan iblis tadi ? apa kata iblis ini misalnya kepada kita, “Kamu ini bicara yakin-yakin sekarang coba tantang kereta api yang lagi jalan, kamu tunggu di rel.” Berani tidak kita ? untuk membuktikan bahwa hidup dan mati ini ditangan Allah. Tetapi apa jawab Nabi Isa ketika ditantang oleh Iblis seperti ini, “Wahai Iblis, yang berhak menguji itu Allah. Bukan kamu.” Allah yang menguji hamba, atau hamba yang menguji Allah ? Jelas disini Allahlah yang berhak menguji hambanya, bukan hambanya yang menguji Allah. Misalnya diatas gunung tadi ada orang yang sedang mengembalakan kambing. Dibawah gunung tadi ada sekelompok da’i melihat hal itu, sehingga mereka bermusyawarah memilih orang untuk naik ke atas gunung untuk mendakwahkan islam kepada si pengemala kambing tadi.
Maka karkun yang terpilih tadi berdasarkan musyawarah, pergi naik ke gunung, dalam perjalan dia terpeleset, jatuh ke jurang, maka matinya adalah mati syahid. Tetapi kalau kita ikut kemping, pramuka, naik ke gunung, jatuh ke jurang, mati, ini namanya bukan mati syahid, tetapi mati sangit. Walaupun dia seorang karkun 4 bulan, mau menguji Allah, lompat dari gunung, maka perintahnya adalah orang Alim tidak boleh mensholati jenazahnya. Jadi kalau ada orang mati bunuh diri, perintahnya orang Alim jangan sholat, biar orang-orang awam saja yang mensholati. Kalau tidak di sholatkan sama sekali, berdosa semuanya, tapi yang menyolatkan jangan orang yang terkemuka seperti Ulama, Bupati, Tokoh masyarakat, cukup orang awam saja. Jadi kalau dia terjun lalu mati ini dia menguji Allah, tetapi jika dia naik karena dakwah, lalu terjatuh, ini dia diuji Allah namanya.